Setelah Allah menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s. dari tungku pembakaran Namrud, Nabi Ibrahim bersyukur dengan berkurban seribu ekor domba jantan, tiga ratus ekor sapi, dan seratus ekor unta. Tidak pernah terdengar sebelumnya ada seorang berkurban sedermawan itu.
Ketika ditanya mengapa ia mengurbankan begitu banyak kekayaannya, Nabi Ibrahim a.s. menjawab, “Aku telah siap mengurbankan nyawa bagi Tuhanku Kenapa aku mesti keberatan untuk mengurbankan hartaku? Lagi pula milik siapa semua itu sebenarnya? Hidupku dan segala sesuatu milikku adalah milik Allah. Apa yang kuberikan tidak ada artinya. Aku bahkan bersedia mengurbankan milikku yang paling berharga untuk Allah. Jika aku punya seorang putra, aku bahkan bersedia mengurbankannya jika Allah menghendaki.”
Bagaimana dengan kita? Adakah di antara kita yang sanggup mengatakan hal serupa? Walaupun engkau tidak selevel dengan Nabi Ibrahim, seberapa tuluskah kau mengurbankan, bahkan cuma sebagian, harta yang telah Allah limpahkan kepadamu, menyedekahkan milikmu demi melayani orang lain? Bahkan orang yang tidak mau menolong orang lain atau meremehkan makna sedekah, ia sebenarnya bukan seorang manusia; apalagi menjadi sahabat Tuhan (khalilullah).
Beberapa tahun kemudian, Allah menganugerahi Nabi Ibrahim seorang putra bernama Ismail. Sejak kecil Ismail telah menunjukkan ciri-ciri kenabian. Dia sering bepergian bersama ayahnya. Dan walaupun masih kanak-kanak, dia sering terlibat dalam diskusi yang rumit tentang agama.
Suatu saat, dalam sebuah mimpi Allah mengatakan kepada Nabi Ibrahim, “Penuhilah janjimu engkau berkata jika engkau mempunyai seorang putra, engkau akan mengurbankan untuk-Ku. Engkau harus memenuhi janjimu.”
Esok harinya, Nabi Ibrahim merenungkan mimpinya semalam. Walaupun bukan pertama kalinya AIlah berbicara kepadanya dalam mimpi, dia menyadari bahwa Allah melarang mengurbankan manusia, dan tidak pernah ada seseorang diperintahkan untuk mengurbankan manusia. Karena itu sebagai gantinya, beliau mengurbankan seratus ekor unta.
Malam itu, Allah berkata-kata lagi kepadanya melalui mimpi, dan kembali memerintahkan Nabi Ibrahim untuk memenuhi janjinya. Nabi Ibrahim a.s, kembali merenungkan bahwa Allah tidak pernah menginginkan pengurbanan manusia. Maka sekali lagi beliau berkurban seratus ekor unta.
Pada malam ketiga, Allah kembali memerintahkan Ibrahim agar mengurbankan anak satu-satunya itu. Pagi berikutnya ia memutuskan bahwa ia harus melaksanakan perintah Allah itu.
Nabi Ibrahim a.s. mengajak Ismail menemaninya ke tempat berkurban. Di perjalanan, iblis menampakkan diri kepada Ibrahim a.s. dan mempertanyakan perintah Allah itu. “Apa engkau benar-benar akan memotong leher putramu itu? Bahkan binatang pun tidak akan tega melakukan hal seperti kita.” Kata Ibrahim a.s. “Walaupun alasanmu tampak rasional dan masuk akal, aku telah menerima perintah dari Allah, dan kehendak-Nya akan aku laksanakan!”
Iblis pun meninggalkan Nabi Ibrahim a.s., tetapi dia tidak menyerah. Ia mendatangi Siti Hajar r.a. ibunda Ismail a.s. Iblis mengatakan kepadanya bahwa Ibrahim a.s. akan menguburkan satu-satunya putra Siti Hajar. Siti Hajar pun menjawab bahwa suaminya Ibrahim benar-benar seorang nabi yang memahami kehendak Allah. Dan pasti akan melaksanakan perintah Allah. Dia bahkan mengatakan bahwa dia sendiri pun siap mengurbankan hidupnya, jika Allah memang menghendaki. Ia pun mengusir iblis darinya.
Akhirnya iblis memengaruhi Ismail a.s. Dia menampakkan diri kepada anak itu, dan mengatakan bahwa ayahnya akan mengikatnya di altar penyembelihan kurban.
Iblis mengatakan bahwa ayahnya berkhayal bahwa Allahlah yang memerintahkannya melakukan itu. Ismail kecil menjawab bahwa ayahnya adalah seorang nabi yang memahami kehendak Tuhan, dan tidak berkhayal tentang hal seperti itu. Ismail a.s. mengatakan bahwa dia sepenuhnya telah siap mempersembahkan hidupnya sendiri, jika memang Allah memerintahkan hal itu.
Sekali lagi iblis mempertanyakan Ismail a.s. apakah ia memang mau dipotong lehernya oleh ayahnya Dengan sangat marah Ismail a.s. membentak, “Apabila Allah memang memerintahkan hal ini kepada ayahku. dia pasti telah diberi kekuatan untuk melaksanakan kehendak Allah.” Dan Ismail mengambil sebongkah batu dan melemparkannya ke iblis. Sebelah mata iblis pun buta terkena lemparannya.
Iblis selalu berusaha menggoda kita dengan cara serupa. Dia mencoba memengaruhi pikiran kita, mengajukan alasan bahwa Tuhan benar-benar tidak menginginkan kita kesulitan atau terbebani tugas berat Dia Juga akan mencoba memengaruhi rasa kasihan kita lewat bagian dari diri kita yang lebih lemah atau
mengajukan argumen bahwa kewajiban-kewajiban tertentu memberi beban yang terlalu menyakitkan atau terlalu berat kepada diri kita maupun kepada orang lain. Dia akan membuat kita bingung, menanam benih keraguan, dan membuat kita takut melaksanakan kehendak Allah.
Dalam pelaksanaan haji di Makkah, seluruh jemaah haji pergi ke Mina dan melemparkan batu ke arah tiga buah pilar. Di Minalah Nabi Ibrahim mengurbankan Nabi Ismail a.s. ketika pilar itu menyimbolkan penentangan terhadap iblis oleh Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail. Ke setiap pilar, tujuh buah batu dilemparkan, mewakili penolakan jemaah haji atas tujuh sifat buruk yaitu merasa diri paling benar, bangga diri, munafik, iri, amarah, ria, dan tamak.
Sesampainya di tempat pengurbanan, Nabi Ibrahim a.s. menyampaikan mimpinya kepada Ismail a.s. Alih-alih memaksa putranya ke altar, Nabi Ibrahim malah menanyakan kesediaan anaknya, apakah ia ikhlas memenuhi perintah Allah, bersedia mengajukan dirinya sendiri sebagai persembahan. Melalui patuh kepada ayahnya, Ismail a.s. mengajarkan kepada kita sebuah teladan berserah diri, bahkan hingga bersedia mempersembahkan hidup kita sendiri, demi kecintaan kepada Allah, ketaatan kepada orang tua kita.
Walaupun kita seharusnya bersedia melakukan apa saja demi menaati orang tua (demi menaati Allah) kita tidak boleh taat jika yang mereka minta tidak sesuai dengan kehendak Allah. Meski sikap santun dan hormat harus tetap dijaga, kita tetap hams menolak mematuhi siapa pun yang meminta kita menentang kehendak-Nya.
Ismail a.s. bersedia dikurbankan. Dia meminta Nabi Ibrahim a.s. mengikat erat-erat dengan tali, supaya gerakan-gerakannya ketika sekarat nanti tidak akan melukai ayahnya. Dia juga meminta dibaringkan dengan menelungkup sehingga Nabi Ibrahim a.s. tidak perlu melihat wajahnya, yang bisa membuat tangannya gemetar sehingga tidak sanggup mengiris daging lehernya. Ismail a.s. juga meminta ayahnya untuk menyingsingkan jubahnya, sehingga ia tidak pulang ke rumah dengan jubah terciprati darahnya, yang hanya akan menambah kesedihan ibunya.
Nabi Ibrahim a.s. memenuhi permintaan anaknya, dan sangat terharu karena keyakinan dan bakti putranya. Ia baringkan putranya di altar, lalu memohon kepada Allah agar merahmati dirinya dan putranya. Pada saat Nabi Ibrahim a.s. mengangkat pisaunya, Allah berfirman kepada malaikatnya, “Saksikanlah keyakinan dan cinta Ibrahim, khalil-Ku. Dia bahkan bersedia mempersembahkan putra satu-satunya demi memenuhi perintah-Ku.”
Setelah itu, pisau tajam Nabi Ibrahim mengiris leher putranya. Tapi tidak terjadi apa-apa. Bahkan tidak ada goresan sedikit pun di leher IsmaiL Nabi Ibrahim mencoba lagi, tetapi hasilnya sama saja. Untuk ketiga kalinya, pisau itu tetap tidak mampu mengiris. Ibrahim pun membanting pisau itu sehingga menghantam sebongkah batu di dekatnya. Batu itu terbelah dua ketika terhantam sisi tajam bilah mata pisaunya.
Saat itu, Allah memampukan pisaunya untuk berbicara. “Saksikanlah, wahai Ibrahim, hanya izin Allah yang membuat pisau mampu memotong, api mampu membakar, dan air mampu membasahi. Tanpa izinNya, aku tidak mampu memotong apa pun. Dan jika Allah menghendaki, aku bahkan mampu memotong batu."
Lalu hadirlah Jibril a.s. di hadapan Nabi Ibrahim, mewahyukan bahwa Allah menghendaki Ibrahim untuk berkurban seekor domba jantan sebagai pengganti Ismail, dan menyampaikan bahwa Allah telah rida kepada mereka berdua.
Allah menuntut kesediaan mempersembahkan diri dari siapa pun yang ingin mengenal-Nya. Kita diminta mempersembahkan kepada-Nya apa yang biasanya sangat kita cintai (ikatan-ikatan kita kepada duniawi), kebiasaan-kebiasaan kita, kemampuan-kemampuan yang membuat kita merasa lebih dari orang lain. Para pecinta Allah sering kali menemukan bahwa pada titik mereka telah mampu melepaskan apa pun selain Allah, mereka justru mendapatkan segalanya bagi keberlimpahan material maupun spiritual.
Sumber: Secawan anggur cinta
Semarang, 31 Juli 2020

0 komentar:
Posting Komentar